Quranic School Dewan Dakwah, Sekolah Tahfiz Berbasis Masjid

“Sekolah ini didirikan karena melihat realita sekarang banyak pemuda yang semakin hari semakin jauh dari masjid dan Alquran. Maka untuk mendekatkan, kita buat sekolah ini, yang mana pelaksanaannya di masjid,” kata Kepala Sekolah Quranic School Dewan Dakwah, Arif Budiman, seperti tertera pada publikasi mereka.

Quranic School Dewan Dakwah beroperasi di Masjid Kompleks Muslimat Center Dewan Dakwah, Jalan Mandar Hasan 45, Cipayung, Jakarta Timur. Menurut Ketua Bidang Pendidikan DDII Imam Zamroji mengatakan, sekolah ini menjalankan model pembelajaran berbasis masyarakat.

Selain itu, sekolah ini juga menargetkan untuk dapat membangun rijalul masjid yang memiliki berbagai keterampilan dalam memakmurkan masjid, seperti azan, iqamah, kultum, dan sebagainya. Ini tidak akan dicapai tanpa praktik yang terus-menerus. Jumlah siswa yang sedikit memungkinkan sirkulasi terjadi lebih cepat, sehingga setiap anak mempunyai kesempatan praktik lebih banyak. Dalam pelaksanaannya, ada tiga kompetensi yang coba ditanamkan pada diri setiap siswa Quranic School Dewan Dakwah. Sekolah ini mencoba untuk menyiapkan kader rijalul masjid, memiliki hafalan Alquran sebanyak 20 juz, dan mempunyai kemampuan berbahasa Inggris serta bahasa Arab. Ide dasar pengembangan sekolah ini diawali dengan pemikiran akan banyaknya jumlah masjid di Indonesia.

DDII saja telah membangun tak kurang 700 masjid di negeri ini. Sayangnya, banyak masjid masih hanya berorientasi sebagai tempat melakukan ibadah-ibadah mahdhoh. DDII ingin membuat model pengelolaan masjid tersendiri untuk mengembalikan masjid sebagai pusat pendidikan.

Bentuk kegiatan didesain sederhana. Zamroji berharap, konsep ini dapat dikloning ke seluruh Indonesia. Penyiapan kader masjid dilakukan dengan menjadikan masjid sebagai pusat pendidikan. Siswa Quranic School wajib melaksanakan kegiatan belajar di masjid, di antaranya zikir, shalat sunah, dan tilawah. Mereka juga terlibat  dalam upaya menjaga kebersihan, keamanan, dan ketertiban masjid.

Setiap siswa juga wajib mengikuti halaqah Alquran setiap hari. Kegiatan dimulai sejak pukul 06.30 WIB dengan apel pagi di lapangan. Pukul 08.00 WIB, para siswa mulai memasuki ‘kelas’, yang sejatinya adalah masjid. Mereka memulai hafalan Alquran dalam bentuk halaqah. Setiap kelompok terdiri atas enam orang, terkadang lebih. Ini berlangsung hingga menjelang zhuhur.

Jelang zhuhur, para siswa mempersiapkan masjid agar siap menerima jamaah shalat Zhuhur berjamaah. Salah satu dari mereka azan, kemudian waktu di antara azan digunakan untuk berdoa dan hafalan. Mereka juga dibiasakan untuk mengisi kultum di hadapan jamaah. Bakda Zhuhur, para siswa mengikuti pelajaran yang lebih klasikal, seperti bahasa Arab, materi keislaman, kemasjidan, dan sebagainya.

Pada dasarnya, kegiatan belajar mengajar telah selesai hingga Ashar. Walaupun begitu, kecintaan para siswa pada masjid tumbuh dan membuat mereka terkadang ingin tetap menjalani kegiatan di situ. Tak jarang para siswa masih asik di masjid hingga maghrib, bahkan ada juga yang berkegiatan hingga malam.

Quranic School Dewan Dakwah memegang prinsip untuk tidak mencerabut siswa dari masyarakat dan orang tuanya. Inilah yang membedakan sistem sekolah ini dengan pesantren atau sekolah pada umumnya. Keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak sangat ditekankan.

Tahun ini, Quranic School berencana menerapkan adanya kesepakatan tertulis dengan orang tua untuk terlibat dalam pendidikan anak. Misalnya, orang tua wajib bangun pada pagi hari dan membangunkan anaknya untuk memulai shalat tahajud dan membaca Alquran pada pukul 04.00 WIB.

Tak hanya itu, mereka diminta juga untuk mendengarkan dan menyimak bacaan Alquran anak, serta membubuhkan tanda tangan sebagai bukti.

Quranic School tampaknya tak ingin main-main. Zamroji mengatakan, jika orang tua tidak terlibat dalam proses ini untuk kesekian kali, siswa bisa saja dikembalikan pada mereka. “Karena pada hakikatnya kewajiban (mendidik anak) pada orang tuanya. Kita tidak ingin orang tua merasa selesai hanya dengan membayar Rp 1 juta,” kata Zamroji.

Zamroji berharap sistem pendidikan ini tak hanya akan membawa siswa kembali kepada masjid, tapi juga dapat berkiprah di masyarakat. Ini juga diharapkan dapat mengurangi berbagai permasalahan remaja yang selama ini muncul, seperti tawuran, seks bebas, dan sebagainya, dengan mengalihkan perhatian mereka pada kegiatan-kegiatan yang lebih bermanfaat, seperti mengaji, menghafal Alquran, dan aktif dalam memakmurkan masjid.